Contoh laporan Plathyhelminthes
A.
Judul
Phyllum
Platyhelminthes
B.
Tujuan
Kegiatan
praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat:
1.
Mengenal keanekaragaman hewan Platyhelminthes.
2.
Mengamati struktur morfologi organisme yang tergolong
Platyhelminthes dan klasifikasinya.
3.
Mengelompokkan hewan-hewan Platyhelminthes ke dalam
classis yang berbeda berdasarkan persamaan dan perbedaan ciri.
4.
Mengidentifikasi ciri-ciri khas dari setiap classis.
C.
Landasan
Teori
1.
Karakteristik Platyhelminthes
Platyhelminthes merupakan cacing
yang berbentuk pipih dan mempunyai tubuh simetri radial. Ukuran tubuh dari
cacing ini bervariasi mulai yang tampak mikroskopis beberapa milimeter hingga
berukuran panjang belasan meter.
Sebagian besar cacing pipih tidak berwarna. Sementara yang hidup bebas ada yang berwarna
coklat, abu, hitam atau berwarna cerah. Warna ini disebabkan karena adanya
pigmen pada tubuhnya. Bagian ujung anterior pada cacing ini berupa kepala. Pada
bagian ventralnya terdapat mulut atau lubang genital. Mulut dan lubang genital
ini jelas pada Turbellaria, tetapi tidak tampak jelas pada Trematoda dan
Cestoda (Kastawi, 2005).
Bentuk tubuh Platyhelminthes
beragam, dari yang berbentuk pipih memanjang, seperti pita maupun seperti daun.
Bagian tubuhnya ada yang tertutupi oleh
lapisan epidermis bersilia yang tersusun oleh sel-sel sinsitium pada classis Turbellaria dan ada juga yang
tertutup oleh kutikula pada classis Trematoda dan Cestoda. Kerangka luar dan
dalam sama sekali tidak ada sehingga tubuhnya lunak. Bagian yang keras hanya ditemukan
pada kutikula, duri, dan gigi pencengkram. Tubuhnya tidak mempunyai rongga
tubuh (acoela). Ruangan-ruangan di dalam tubuh yang ada diantara berbagai organ
terisi dengan mesenkim yang biasanya disebut parenkim (Kastawi, 2005).
Platyhelminthes mempunyai alat
kelamin yang tidak terpisah (hermafrodit), artinya dalam satu species terdapat
alat reproduksi jantan maupun betina kecuali pada beberapa familia dari
Digenia. Sistem reproduksi pada kebanyakan cacing pipih sangat berkembang dan kompleks.
Pada kebanyakan cacing pipih telurnya tidak mempunyai kuning telur, tetapi
dilengkapi oleh sel yolk khusus yang tertutup oleh cangkok telur. Pada classis
platyhelminthes ada yang bisa melakukan pembuahan sendiri ada juga yang tidak
dapat melakukan pembuahan sendiri. Yang bisa melakukan pembuahan sendiri adalah
classis Trematoda dan Cestoda, sedangkan pada classis Turbellaria tidak dapat
melakukan pembuahan sendiri (Kastawi, 2005).
Platyhelminthes belum mempunyai
alat pernapasan khusus. Pengambilan oksigen bagi anggota yang hidup bebas
dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuhnya sedangkan anggota yang hidup
sebagai parasit bernapas secara anaerob, artinya respirasi berlangsung tanpa
oksigen. Hal ini karena Platyhelminthes yang parasit hidup dalam lingkungan
yang kekurangan oksigen. Cacing ini sudah mulai maju dalam hal sistem ekskresinya
walaupun masih sangat sederhana. Selain itu Platyhelminthes sudah memiliki
alat-alat pencernaan yang mendukung sistem pencernaannya antara lain terdiri
dari mulut, faring, dan usus, walaupun pada classis tertentu ada yang tidak
memiliki mulut yaitu Cestoda (Kastawi, 2005).
Habitat Platyhelminthes
adalah di laut, perairan tawar, dan daratan yang lembap. Platyhelminthes yang
hidup tidak parasit biasanya berlindung dibawah bebatuan, daun, mata air, dan
lain-lain. Sedangkan Platyhelminthes yang parasit membutuhkan beberapa macam
inang untuk kelangsungan hidupnya. Ada yang hidup di ternak mammalia, peredaran
darah manusia, kantung kemih katak, otot babi, unggas, dan beberapa jenis
vertebrata lainnya (Kastawi, 2005)
2.
Klasifikasi Platyhelminthes
a.
Turbellaria
Hampir semua Turbellaria hidup
bebas dan kebanyakan hidup di laut. Turbellaria air tawar yang paling dikenal
adalah anggota-anggota genus Dugesia,
umumnya disebut Planaria. Berlimpah
di kolam-kolam dan sungai-sungai kecil yang tidak tercemar, Planaria sp. memakan hewan-hewan yang
lebih kecil atau memakan bangkai hewan. Mereka bergerak dengan silia pada permukaan
ventralnya, meluncur di sepanjang lapisan mukus yang disekresikannya. Beberapa Turbellaria
yang lain juga menggunakan otot-ototnya untuk berenang melalui air dengan
gerakan berdenyut (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, Jackson,
2008).
Beberapa Planaria sp. dapat bereproduksi secara aseksual melalui fisi. Induk
berkonstriksi kira-kira dibagian tengah tubuhnya, memisah menjadi ujung kepala
dan ujung ekor, masing-masing ujung kemudian meregenerasikan bagian bagian yang
hilang. Reproduksi seksual juga terjadi. Planaria
hermafrodit, dan pasang-pasang yang kawin umumnya saling melakukan fertilisasi
silang (Campbell et al., 2008).
b.
Trematoda
Trematoda memiliki bentuk tubuh
seperti daun. Tubuhnya tertutupi oleh kutikula. Saluran pencernaan makanannya
lengkap, tanpa anus. Terdiri dari mulut, faring, dan intestin. Organ ekskresi
berupa protonefridia. Bersifat hermafrodit, kecuali pada beberapa familia dari
Digenia. Cacing Schistosoma haematobium
memiliki alat kelamin yang terpisah tetapi antara cacing jantan dan cacing
betina selalu melekat satu sama lain (Kastawi, 2005).
Trematoda hidup sebagai parasit di
dalam tubuh hewan lain. Kebanyakan memiliki alat penghisap (sucker) yang melekat ke organ-organ
internal atau permukaan-permukaan luar dari hewan inang. Lapisan luar yang
keras membantu melindungi parasit di dalam inangnya. Organ-organ reproduksi
menempati hampir di seluruh bagian dalam dari cacing-cacing ini (Campbell et
al., 2008).
c.
Cestoda
Cacing pita
(Cestoda) bersifat parasit. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup di dalam
vertebrata, termasuk manusia. Pada kebanyakan cacing pita, bagian ujung
anterior atau scolex dipersenjatai dengan penghisap dan kait yang digunakan
untuk melekatkan diri ke lapisan usus inangnya. Cacing pita tidak memiliki
mulut dan rongga gastrovaskular. Mereka mengabsorpsi nutrien yang dilepaskan
oleh pencernaan di dalam usus inang. Absrorpsi terjadi di seluruh permukaan
tubuh cacing pita (Kastawi, 2005).
d.
Daur Hidup Fasciola hepatica
Fasciola
hepatica hidup parasit di dalam empedu atau dalam pembuluh
darah hati manusia dan hewan ternak seperti sapi, babi, kerbau, dan domba. Daur
hidup Fasciola hepatica sebagai
berikut.
Telur ® mirasidium ®
masuk ke tubuh Lymnea (siput air
tawar) ®
sporokista ®
redia ®
serkaria ®
metaserkaria ®
kista ®
masuk ke tubuh domba, lembu, biri-biri, atau kerbau ®
cacing dewasa (Kusumawati, Hidayat, Retnaningati, 2012).
D. Metode Praktikum
1.
Alat dan bahan
a.
Alat
1) Mikroskop
monokuler dan binokuler beserta perlengkapannya
2) Loupe
3) Pinset
4) Kaca
arloji
5) Alat
tulis (pensil dan buku)
6) Kamera atau handphone
7) Penggaris
b. Bahan
1) Preparat
segar dan awetan cacing Plathyhelmintes
2) Dugesia
sp. (planaria) yang
masih segar
3)
Siput
Lymnea sp.
2. Cara
kerja
Untuk pengamatan morfologi planaria, cacing hati dan beberapa contoh
cacing pita.
a. Planaria segar
diambil dengan pipet ke dalam kaca arloji yang telah berisi air bersih.
b. Lalu
Planaria diamati dengan mikroskop binokuler atau loupe.
1) Arah dorsal bagian kepala terdapat dua buah bintik mata
dan aurikel.
2) Warna bagian dorsal dan ventral dibedakan.
3) Mulut terdapat pada bagian ventral.
4) Panjang dan lebar dari planaria tersebut diukur dengan
penggaris.
5) Bagian
tubuh Planaria dipotong dengan memanjang atau melintang untuk
pengamatan daya regenerasinya.
6) Planaria tersebut dipelihara dalam cawan petri dan diamati setiap
hari sampai terbentuk individu baru yang menyerupai induk asal. Bagian tubuh
mana yang lebih cepat (kepala/ekor).
c. Cacing hati diambil dan diletakkan di
atas kaca arloji.
d. Bagian tubuh cacing hati diamati dengan loupe
Bagian
yang diamati:
1) Bagian anterior dan posterior
2) Bagian dorsal dan ventral.
3) Oral sucker dan ventral sucker
Untuk pengamatan
anatomi Planaria, Fasciola hepatica, dan Taenia sp.
a.
Preparat
awetan Planaria yang telah disediakan diambil kemudian
diamati dengan menggunakan mikroskop.
b. Bagian-bagian seperti mulut, faring, usus pada bagian
depan dan belakang diamati.
c. Preparat awetan sayatan melintang dari Planaria diamati dan tentukan bagian-bagian:
1)
Faring, berupa
rongga/lingkaran besar terdapat di tengah tubuh.
2)
Usus,
di kiri kanan faring.
3)
Batang syaraf, di bagian ventral.
4)
Silia,
epidermis, otot longitudinal, dorsoventral dan melingkar.
d.
Lalu
preparat awetan Fasciola hepatica diamati dengan
mikroskop binokuler dan tentukan bagian-bagian :
1)
Oral sucker dan ventral sucker.
2)
Faring
3)
Usus, yang
bercabang-cabang.
4)
Kelenjar yolk
5)
Testis dan uterus.
e.
Preparat awetan Taenia
sp. diamati dan tentukan bagian-bagian :
1)
Kepala (scolex) yang memiliki : sucker (alat penghisap), rostellum
(karangan kait), hooks (kait).
2)
Leher (neck)
3)
Proglotid dewasa, berisi : uterus, testis, kelenjar yolk, vagina dan lubang genital.
Untuk pengamatan tahapan-tahapan siklus hidup Fasciola hepatica pada siput Lymnea sp.
a.
Beberapa siput Lymnea sp. dipecahkan dengan pinset di dalam kaca arloji atau gelas
piala yang telah berisi air bersih. Jika terdapat larva cacing akan tampak
serbuk-serbuk halus berwarna keputih-putihan.
b.
Cairan yang mengandung benda
keputih-putihan tadi diteteskan pada kaca objek bersih, kemudian ditutup dengan
hati-hati dan diamati dibawah mikroskop.
c.
Tahap-tahap siklus cacing hati diamati
serta ditentukan :
1)
Metaserkaria (berupa
kista)
2)
Serkaria (larva
yang berekor)
3)
Redia (kista yang berisi cercaria muda)
4)
Sporokista (kista yang
berisi redia muda)
E.
Hasil
Pengamatan
Tabel 1 Identifikasi Phyllum
Platyhelminthes berdasarkan struktur tubuh
No
|
Nama Species
|
Simetri Tubuh
|
Bentuk tubuh
|
Beruas/ proglotid
|
Mulut
|
Anus
|
Intestine
|
Sucker
|
Alat reproduksi
|
Classis
|
1
|
Dugesia sp.
|
Bilateral
|
Pipih
|
Tidak
|
Ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Turbellaria
|
2
|
Taenia saginata
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
3
|
Taenia sp.
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
4
|
Echinococcus granulosus
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
5
|
Taenia serrata
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
6
|
Moniezia expanza
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
7
|
Fasciola hepatica
|
Bilateral
|
Pipih
|
Tidak
|
Ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Ada
|
Trematoda
|
8
|
Taenia pisiformis
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
9
|
Thysanosoma actinoides
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
10
|
Taenia
solium
|
Bilateral
|
Pipih
|
Ya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Ada
|
Cestoda
|
F. Pembahasan
Dalam parktikum ini, diamati
sepuluh species dari Phyllum Platyhelminthes, yakni:
1. Dugesia tigrina
Dugesia
tigrina merupakan salah satu species Platyhelminthes yang
masuk ke dalam classis Turbellaria. Hewan ini dikelompokkan ke dalam classis
Tubellaria karena memiliki beberapa
karakteristik, yaitu pada permukaan tubuhnya terdapat silia (rambut getar) yang
digunakan untuk bergerak, kemudian di bagian anterior tubuhnya berbentuk
segitiga dan memiliki sepasang bintik mata yang berfungsi untuk membedakan
keadaan gelap dan terang (Agisni, 2012).
Karakteristik
lain pada Dugesia tigrina yang
digolongkan dalam classis Turbellaria yaitu pada umumnya tubuh berpigmen,
memiliki mulut di bagian ventral, tidak memiliki alat penghisap dan tidak
memiliki ruas pada tubuhnya, hal tersebut yang membedakan anatara classis
Turbelaria dengan classis lain dari Phyllum Platyhelminthes (Syulasmi, Sriyati,
Peristiwati, 2011, hal. 21).
Dugesia
tigrina ini kami temukan di perairan tawar, karena memang
hewan ini biasanya hidup di kolam, danau, atau mata air. Manfaat dari hewan ini
yaitu dapat dijadikan pakan ikan dan indikator air bersih (Agisni, 2012).
Berdasarkan
hasil pengamatan, Planaria atau Dugesia tigrina yang kami potong menjadi
3 bagian (anterior, tengah, dan posterior) menunjukkan bahwa yang lebih cepat
beregenerasi adalah bagian dari anteriornya, karena pada bagian anteriornya
terdapat organ-organ penting seperti intestin, mata dan organ reproduksi.
Selain itu pada bagian anteriornya lebih kompleks dibandingkan pada bagian
prosteriornya. Jika tubuh planaria dipotong-potong
maka tiap potongan akan dapat tumbuh kembali (regenerasi) menjadi individu baru
yang lengkap seperti induknya (Kastawi, dkk. 2003).
2. Echinococcus granulosis
Dilihat dari morfologinya, Chinococcus granulosis dewasa berukuran 3-6 mm. Memiliki scolex, leher,
strobila yang terdiri dari 3-4. Segmennya terdiri atas immature proglotid, mature proglotid dan gravid proglotid yang mempunyai ukuran paling besar dan panjang
dari segmen lainnya. Memiliki 4 alat hisap dengan rosteleum yang memiliki 2
kait (Chopperandco, 2013).
Hewan ini dikelompokka ke dalam classis Cestoda,
karena memiliki scolex, bersegmen dan hidup sebagai parasit. Species ini berparasit di tubuh hewan
karnivora khususnya anjing. Perantaranya ialah manusia, kambing, domba, sapi,
dan lain-lain. Larva dari pecies ini menyebabkan penyakit hidatidosis
(Chopperandco, 2013).
3. Fasciola hepatica
Fasciola hepatica dewasa mempunyai panjang tubuh antara 12.22-
29.00 mm (Periago, et al. dalam Ericka, 2012). Species ini berbentuk pipih,
memiliki usus yang bercabang, biasanya hidup di saluran empedu pada sapi.
Sesuai dengan pendapat Brown dalam Ericka (2012) Fasciola hepatica berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu
yang khas yang disebabkan oleh kerucut kepalanya (chepalic cone), batil hisap kepala dan perut yang sama besarnya di
daerah kerucut kepala, usus dengan banyak cabang di vertikulum, testis yang
bercabang banyak dan tersusun sebagai tandem, kelenjar vitellaria yang
bercabang-cabang secara merata di bagian lateral dan posterior badan, uterus pendek
dan berkelok-kelok.
Fase larva Fasciola
hepatica pada tubuh siput Lymnea sp.
yang telah kami amati, terdiri dari fase sporokista, fase redia I, fase redia
II, dan fase serkaria. Siput Lymnea sp.
dijadikan inang karena memiliki lendir dan tubuhnya cocok bagi keberlangsungan
hidup dari larva Fasciola hepatica.
Kami membedakan setiap fase larva Fasciola
hepatica yang ada pada Lymnea sp.
dengan cara memperhatikan struktur dari larvanya. Pada fase sprokista, larva
cenderung diam, memiliki kista dan di dalamnya terdapat redia muda, pada fase
ini tidak terdapat faring. Pada fase redia I, kami melihat adanya faring dan
larva mengandung serkaria muda tanpa ekor, sedangkan pada fase redia II, di
dalamnya terdapat serkaria yang aktif bergerak, pada fase ini juga memiliki
faring. Kemudian fase serkaria, pada fase ini serkaria keluar dari dalam redia
II dan kami melihat larva serkaria ini memiliki ekor.
4. Moniezia expanza
Moniezia
expanza ini hidup sebagai parasit. Alasan cacing ini
dimasukkan ke dalam classis Cestoda karena karakteristik morfologinya yaitu
memiliki scolex, sucker, kait, tidak berpigmen, dan tubuhnya memiliki
proglotid. Sesuai dengan pendapat Kastawi (2005) Cacing pita (Cestoda) bersifat
parasit. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup didalam vertebrata, termasuk
manusia. Pada kebanyakan cacing pita, bagian ujung anterior atau scolex
dipersenjatai dengan pengisap dan kait yang digunakan untuk melekatkan diri ke
lapisan usus inangnya. Cacing pita tidak memiliki mulut dan rongga
gastrovaskular. Mereka mengabsropsi nutrien yang dilepaskan oleh pencernaan di
dalam usus inang. Absrorpsi terjadi di seluruh permukaan tubuh cacing pita.
5. Taenia pisiformis
Cacing ini
merupakan cacing pipih Panjang cacing dewasa bisa mencapai 200cm. Species ini
berparasit pada jenis karnivora seperti kucing dan anjing dengan kelinci
sebagai inang perantaranya (Roberts, Janovy, Schmidth, Larry, 2005, hlm. 347).
Species ini dikelompokkan dalam classis Cestoda karena memiliki scolex, tidak
berpigmen, tidak memiliki alat pencernaan, memiliki ruas atau proglotid, hal
ini sesuai dengan pendapat Syulasmi et al. (2011) yang menyatakan bahwa pada
classis Cestoda hidup sebagai parasit, tidak berpigmen, tidak mempunyai saluran
pencernaan, mempunyai kepala (scolex) di bagian anterior dengan dilengkapi
sucker dan kait untuk menempel pada inangnya, tubuhnya memiliki ruas-ruas.
Berdasarkan pengamatan, tubuh pada Taenia
pisiformis ini terdiri atas tiga bagian proglotid, yakni proglotid muda,
proglotid dewasa, dan proglotid gravid, besar dan panjang setiap bagian
proglotid semakin ke ujung semakin bertambah, berdasarkan hasil diskusi hal
tersebut dikarenakan pada bagian proglotid muda, alat reproduksinya masih belum
lengkap, sedangkan semakin ke bawah proglotid semakin dewasa dan memiliki organ
reproduksi yang semakin lengkap, hingga akhirnya membentuk proglotid gravid
yang mengandung individu-individu baru berupa telur. Telur-telur ini memerlukan
ruang yang cukup, sebab itulah bagian proglotidnya membesar.
6. Taenia Saginata
Taenia saginata
merupakan cacing terbesar dari spesies yang termasuk dalam genus Taenia . Panjang cacing dewasa biasanya
4 sampai 10 m. Tubuhnya bersegmen. Tubuh berwarna putih dan terdiri dari tiga
bagian : scolex , leher dan Strobila . Scolex terdiri dari empat pengisap,
tetapi tidak memiliki kait. (Jr.
Washington, Allen, Janda, Koneman, Procop, Paul, Gail, 2006). Dikelompokkan ke
dalam classis Cestoda karena memiliki scolex, bersegmen dan hidup
sebagai parasit. Species ini berparasit
di tubuh hewan karnivora khususnya anjing. Perantaranya ialah manusia, kambing,
domba, sapi, dan lain-lain. Larva dari pecies ini menyebabkan penyakit
hidatidosis (Chopperandco, 2013).
7. Taenia serrata
Taenia
serrata merupakan cacing pipih yang digolongkan ke dalam
classis Cestoda. Berdasarkan pengamatan, cacing ini terdiri atas scolex,
sucker, proglotid, tidak berpigmen. Beberapa hal dari hasil pengamatan tersebut
menunjukkan bahwa species ini digolongkan ke dalam classis Cestoda, sama dengan
cacing Taenia yang lain. Didukung
adanya pendapat Kastawi (2005) menyatakan bahwa pada classis Cestoda memiliki
tubuh yang terbagi menjadi beberapa segmen yang disebut proglotid, pada ujung
anterior tubuhnya muncul sebagai scolex dan memiliki sucker dan kait.
8. Taenia solium
Species ini
biasanya menjadi parasit pada babi. Tidak berpigmen, memiliki alat hisap dan
kait, tidak memiliki mulut tapi memiliki scolex yang menjadi salah satu alasan
kenapa species ini dikelompokkan ke dalam classis Cestoda. Sesuai dengan salah
satu pendapat bahwa Cacing pita (Cestoda) bersifat parasit. Cacing pita dewasa
sebagian besar hidup didalam vertebrata, termasuk manusia. Pada kebanyakan
cacing pita, bagian ujung anterior atau scolex dipersenjatai dengan pengisap
dan kait yang digunakan untuk melekatkan diri ke lapisan usus inangnya. Cacing
pita tidak memiliki mulut dan rongga gastrovaskular. Mereka mengabsropsi
nutrien yang dilepaskan oleh pencernaan di dalam usus inang. Absrorpsi terjadi
di seluruh permukaan tubuh cacing pita (Kastawi, 2005).
9. Taenia sp.
Taenia
sp.yang
diamati memiliki persamaan karakteristik dengan Taenia saginata, Taenia solium, Taenia pisiformis, dan Taenia serrata
yang dikelompokkan ke dalam classis Cestoda karena memiliki scolex, sucker,
kait, tidak berpigmen, dan tubuhnya memiliki proglotid. Kastawi (2005)
menyatakan bahwa pada classis Cestoda memiliki tubuh yang terbagi menjadi
beberapa segmen yang disebut proglotid, pada ujung anterior tubuhnya muncul
sebagai scolex dan memiliki sucker
dan kait.
10. Thysanosoma actinoides
Berdasarkan
pengamatan, species ini berbentuk pipih, memiliki scolex, tidak berpigmen, dan
tubuhnya memiliki segmen atau proglotid. Itu sebabnya dikelompokkan ke dalam classis
Cestoda. Cacing ini biasanya dapat ditemukan saluran empedu pada domba. Tergolong
cacing pita tebal (familia Anocephalidae). Tubuhnya memiliki proglotid dan
scolex (Anonim, 2000).
G.
Kesimpulan
1. Keanekaragaman
filum Platyhelminthes yang telah diamati diantaranya: Taenia solium, Taenia saginata, Taenia pisiformis, Taenia sp., Dugesia
sp., Moniezia expansa, Thypanosoma actinoides, Echinococcus granulosus, Taenia
serrata, dan Fasciola hepatica.
2. Platyhelminthes
adalah hewan multiseluler berupa cacing pipih dorsoventral yang tidak memiliki
coelom dan simetri tubuhnya simetri bilateral. Platyhelminthes termasuk
triploblastik karena tersusun dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderm (menyusun
lapisan luar seperti epidermis), mesoderm (lapisan tengah), dan endoderm
(menyusun lapisan dalam seperti sistem pencernaan). Epidermis pada kelas
Turbellaria mengandung silia, lendir, dan bintik mata, sedangkan pada Trematoda
dan Cestoda epidermisnya mengandung kutikula dan memiliki alat penghisap (sucker) dan kait (hook) untuk menempel pada hospesnya.
Platyhelminthes tidak memiliki rangka, sistem
respirasi, dan sistem peredaran darah. Sistem ekskresinya menggunakan sel api
atau aprotonephridia yang terdapat pada nefridiofor. Sistem saraf dengan sepasang ganglion anterior yang dihubungkan
dengan satu atau tiga pasang tali saraf longitudinal dan transversal.
3. Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui bahwa phyllum Platyhelminthes terbagi ke dalam
tiga kelas yang di dasari oleh kemiripan bentuk tubuh dan ada tidaknya mulut.
Ketiga kelas tersebut adalah: Turbellaria, Trematoda, dan Cestoda. Adapun
species yang berhasil kami amati dan kami kelompokkan diantaranya Dugesia sp. yang termasuk ke dalam kelas
Turbellaria karena memiliki mulut di bagian ventral dan tidak memiliki sucker,
memiliki alat pencernaan dan bintik mata.spesimen yang termasuk ke dalam kelas
Trematoda diantaranya Fasciola hepatica,
karena memiliki mulut dibagian anterior, memiliki sucker dan alat pencernaan. Sedangkan
Taenia solium, Taenia serrate, Taenia
saginata,Taenia pisiformis, Taenia sp, Moniezia expansa, Thypanosoma actinoides
termasuk ke dalam kelas Cestoda karena tidak memiliki alat pencernaan , memiliki
scolex (kepala) yang terdiri dari hooks (kait), rostellum (karangan kait), sucker
(alat penempel dan penghisap) dan struktur tubuh terdiri dari proglotid atau
bersegmen.
4. Ciri
khas kelas Turbellaria yaitu memiliki bintik mata di bagian anterior, mulut di
bagian ventral, alat pencernaan, tidak memiliki sucker. Kelas Trematoda
memiliki ciri khas mempunyai alat pencernaan, sucker dan mulut dibagian
anterior. Sementara kelas Cestoda tidak memiliki alat pencernaan dan memiliki scolex (kepala) yang terdiri dari hooks (kait), rostellum (karangan kait), sucker
(alat penempel dan penghisap) dan struktur tubuh terdiri dari proglotid atau
bersegmen.
DAFTAR PUSTAKA
Agisni, G.I. (2012). Phyllum Platyhelminthes. [Online].
Tersedia di: gitaintanagisni.blogspot.com. Diakses 13 Maret 2014.
Ericka, D. (2012). Fasciola hepatica (Cacing Hati). [Online].
Tersedia di: http://erickbio.wordpress.com/2012/08/12/fasciola-hepatica-cacing-hati/.
Diakses 14 Maret 2014.
Kusumawati, R.,
Hidayat, M., dan Retnaningati, D. (2012) Detik-detik Ujian Nasional Biologi.
Klaten : Intan Pariwarna.
Mirza, I., Kurniasih. (2002). Identifikasi Cacing Eurytrema sp. Pada
Ternak Sapi Berdasarkan Ciri-ciri Morfologis. [Online]. Tersedia di: http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pronas02-72.pdf
. Diakses 14 Maret 2014.
Roberts,
L. S., and J. Janovy. Gerald d. schmidt & larry s.(2005). Roberts' Foundations of Parasitology. 8th
Edition. Missouri: McGraw-Hill Science/Engineering/Math.
Syulasmi,A. Sriyati, S.
Peristiwati. (2011). Petunjuk Praktikum
Zoologi Invertebrata. Bandung: Universitas Pendidikan Biologi.
Winn,
Jr. Washington; Allen, Stephen; Janda, William; Koneman, Elmer; Procop, Gary;
Schreckenberger, Paul; Woods, Gail (2006). Koneman's Color Atlas and
Textbook of Diagnostic Microbiology (6th
ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp. 1282–1284.
Komentar
Posting Komentar